Ilustrasi Pengajuan Perkara
|
![]() |
![]() |
|
Prosedur Pengaduan(Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada Dibawahnya) Pengaduan dapat disampaikan melalui:
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
0711) 321714
(0731) 321714
Ketua Pengadilan Negeri Lahat JL. KOLONEL H. BARLIAN BANDAR JAYA
Dalam hal Pengaduan diajukan secara lisan;
Dalam hal Pengaduan dilakukan secara tertulis, memuat:
Dalam hal Pengaduan dilakukan secara elektronik,memuat:
Pengaduan yang ditindaklanjuti adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
Pengaduan yang tidak ditindaklanjuti adalah Pengaduan dengan kriteria sebagai berikut:
Hak-Hak Pelapor
Hak-Hak Terlapor
|
AREA DOWNLOAD : PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN
|
|
Undang-Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Sumber :
|
|
Banyak definisi bantuan hukum cuma-cuma, baik definisi yang diberikan oleh undang-undang maupun difinisi yang diberikan oleh para sarjana hukum, namun secara sederhana bantuan hukum cuma-cuma dapat didefinisikan sebagai bantuan hukum gratis yang diberikan kepada perorangan atau pun kelompok yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Bantuan hukum cuma-cuma diatur di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Pemberi Bantuan Hukum Cuma-Cuma Dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum disebutkan bahwa pemberi bantuan hukum cuma-cuma adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan. Selain itu, advokat juga memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma, hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Biasanya setiap lembaga bantuan hukum, organisasi kemasyarakatan atau advokat memiliki segmentasi tertentu dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma, mereka tidak menerima semua permohonan, mereka akan memilah tergantung pemohon dan kasusnya. Sebagai contoh, ada beberapa lembaga bantuan hukum yang hanya berfokus pada pendampingan nelayan, buruh, wartawan atau pendampingan pada wanita dan anak-anak. Namun, ada juga beberapa lembaga bantuan hukum, organisasi kemasyarakatan atau advokat yang tidak memiliki segmentasi tertentu, yang terpenting pemohon adalah orang miskin. Dalam prakteknya, para pemberi bantuan hukum cuma-cuma biasanya membentuk jejaring, saling berkomunikasi satu sama lain dan bekerja sama dalam melaksanakan tugasnya. Satu pemberi bantuan hukum cuma-cuma akan menghubungi pemberi bantuan hukum cuma-cuma lainnya, bila ternyata pemohon bukan merupakan segmentasinya, memerlukan konsultasi, atau karena keterbatasan sumber daya manusia yang ada. Ruang Lingkup Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Dijelaskan dalam pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum bahwa ruang lingkup pemberian bantuan hukum cuma-cuma meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Selanjutnya di dalam pasal 16 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum terdapat sembilan jenis kegiatan yang termasuk bantuan hukum cuma-cuma secara nonlitigasi, salah satunya adalah penyuluhan hukum,konsultasi hukum dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga ruang lingkup pemberian bantuan hukum cuma-cuma sangatlah luas sekali, tidak terbatas pada proses peradilan saja. Syarat Penerima Bantuan Hukum Cuma-Cuma Syarat penerima bantuan hukum cuma-cuma yang disebutkan di dalam peraturan perundang-undangan adalah miskin, di mana definisi miskin sendiri adalah tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Sehingga setiap kelompok atau orang perorangan yang ingin mengajukan bantuan hukum cuma-cuma harus dapat menunjukan keterangan miskin atau dokumen lain yang menunjukan status miskin tersebut, seperti Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai atau Kartu Beras Miskin. Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan, syarat miskin terkadang tidak digunakan atau tidak didefiniskan seperti yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan. Ada beberapa lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang tidak mensyaratkan status miskin atau mendefiniskan miskin tidak hanya secara materi, namun juga secara pengetahuan hukum. Benar-Benar Gratis Pemberi bantuan hukum cuma-cuma dilarang untuk menerima atau meminta bayaran kepada penerima bantuan hukum cuma-cuma terkait dengan bantuan hukum yang diberikannya, bahkan hal tersebut diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Hal ini diatur di dalam pasal 20 junto pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Sumber :
|
|
Mahakamah Agung (MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara tegas mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.
Menurut PERMA, MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara. Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan. Mediator yang mendamaikan itu dapat berasal dari mediator pengadilan maupun mediator luar pengadilan. Dari manapun asalnya, mediator harus memenuhi syarat memiliki sertifikat mediator.
Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Selain semua dokumen wajib dimusnahkan, mediator juga dilarang menjadi saksi atas perkara tersebut – pihak yang tidak cakap menjadi saksi. Pernyataan maupun pengakuan yang timbul dalam proses mediasi, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti persidangan perkara yang bersangkutan maupun perkara lain. Penggunaannya dalam persidangan menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan bukti.
Kekuatan Hukum Akta Perdamaian.
Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap – dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.
Karena telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan.
Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.
Sumber :
|